Minggu, 27 November 2016

Bimbingan dan Konseling Anak

Yuhuuuuu aku datang kembali, kali ini aku akan ngebahas mengenai bimbingan dan konseling anak, mari.................

A.     Pengertian Bimbingan dan Konseling Anak
Menurut Natawidjaja, ditinjau secara luas dan menyeluruh bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara bersinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga ia sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar, sesuai denagn tuntutan dan keadaan sekolah, keluarga, dan masyarakat pada umumnya. Bimbingan secara umum dapat diartikan sebagai bantuan. Namun pengertan yang sebenarnya, tidak semua bantuan adlah bimbingan. Berdasarkan pasal 25, Peraturan Pemerintah No. 28/1990: “Bimbingan merupakan bantuan yang diberiakan kepada anak dalm rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan”.[1]
Menurut W.S. Winkel, konseling merupakan serapan dari kata counselling yang dikaitkan dengan kata counsel, yang berarti nasihat (to obtain counsel), anjuran (to give counsel), atau pembicaraan (to take counsel). Secara etimologis, istilah konseling berasal dari bahasa latin, yaitu consilium yang berarti dengan dan bersama yang dirangkai menerima atau memahami.[2] Konseling adalah pelayanan bantuan untuk anak, baik secara individual maupun kelompok, agar mampu mandiri dan berkembang dengan optimal dalam bidang pengembangan kehidpa pribadi, kehidupan sosial kemampuan belajar, dan perencanaan karier melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Dengan demikian, bimbingan dan konseling adalah pelayanan bantuan untuk anak, baik secara perorangan maupun kelompok, agar mandiri dan berkembang dengan optimal dalm bimbingan pribadi, bimbingan sosial, belajar, dan karier melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung berdasarkan norma-norma yang berlaku.[3]

B.     Tujuan Bimbingan dan Konseling Anak
Bimbingan dan konseling bertujuan membantu anak mencapai tugas-tugas perkembangan secara optimal semgai makhluk Tuhan, sosial, dan pribadi. Lebih lanjut, tujuan bimbingan dan konseling adalah membantu indiidu dalam mencapai kebahagiaan hidup pribadi sebagai makhluk Tuhan, kehidupan yang produktif dan efektif dalam masyarakat, hidup bersama dengan individu-individu lain, serta menciptakan harmoni antara cita-cita dengan kemampuan ang mereka miliki.[4]
Tujuan umum dari pelayanan bimbingan dan konseling adalah sama denga tujuan pendidikan sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 2/1998, tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu: “Terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya yang cerdas, yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.[5]
Secara khusus layanan Bimbingan dan Konseling bertujuan untuk membantu anak agar dapat mencapai tujuan-tujuan perkembangan meliputi aspek pribadi dan sosial, belajar dan karier. Bimbingan Pribadi dan Sosial adalah bimbingan ini dapat membantu anak dalam memecahkan masalah-masalah pribadi sosial. Bimbingan Belajar tujuan dan tugas pengembangan pendidikan melalui kegiatan bermain sambil belajar yang mencakup pengembangan kemampuan dasar dan pembentukan perilaku. Bimbingan karir adalah bimbingan yang membantu anak dalam perencanaan, pengembangan dan pemecahan masalah-masalah karir, seperti pemahaman terhadap jabatan dan tugas-tugas kerja, pemahaman kondisi dan kemampuan diri, pemahaman kondisi lingkungan, perencanaan dan pengembangan karir, penyesuaian pekerjaan, dan pemecahan masalah-masalah karir yang dihadapi secara sederhana.
Bimbingan pribadi – sosial dimaksudkan untuk mencapai tujuan dan tugas perkembangan pribadi – sosial dalam mewujudkan pribadi yang taqwa, mandiri, dan bertanggung-jawab. Bimbingan belajar dimaksudkan untuk mencapai tujuan dan tugas perkembangan pendidikan. Bimbingan karier dimaksudkan untuk mewujudkan pribadi pekerja yang produktif.
Bimbingan konseling  juga membantu tercapainya segala aspek-aspek  pertumbuhan dan perkembangan  bagi anak. Baik aspek akademik, bakat dan minat, emosional, sosial dengan teman, penyesuaian diri di lingkungan yang baru, menemukan jati diri dan sebagainya, tentunya akan lebih baik jika proses pelaksanaanya diarahkan sejak dini agar tercapai segala aspek-aspek pertumbuhan dan perkembangan anak yang maksimal. Dari semua itu disinilah perlunya guru Bimbingan dan Konseling (BK) di pendidikan anak usia dini dan taman kanak-kanak dalam membantu mengidentifikasi permasalahan peserta didik dan membantu tercapainya segala aspek perkembangan peserta didik di  pendidikan anak usia dini atau di taman kanak-kanak.
Lembaga ini bertanggung jawab  terhadap perkembangan fisik, motorik, kognitif, dan mental spiritual. Agar apa yang dibebankan kepada guru pendidikan anak usia dini atau taman kanak-kanak dapat dilaksanakan sesuai dengan harapan maka diperlukan bimbingan dan konseling dilembaga tersebut.[6]

C.     Hubungan antara Konselor dengan Anak
Di dalam melakukan layanan bimbingan pada anak, konselor senantiasa perluter mempertimbangkan berbagai karakteristik dan permasalahan yang dimiliki anak, karena setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda. Selain itu, anak juga memiliki latar belakang keluarga yang berbeda. Perlakuan konselor dalam membantu mengatasi masalah yang dihadapi anak dan memfasilitasi tumbuh kembang anak agar mencapai perkembangan yang optimal perlu dilakukan diantaranya dengan cara:
1.    Menerima anak apa adanya. Konselor harus menerima semua kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri anak. Dengan menerima anak apa adanya maka ketika konselor akan menentukan langkah bimbingan yang akan ditempuh disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki anak.
2.    Memperlakukan anak dengan penuh kasih sayang. Perlakuan konselor yang penuh kasih sayang merupakan cara yang baik untuk menghilangkan rasa takut dan cemas pada diri anak sehingga anak dapat merasa tenang dan ada yang melindungi.
3.    Tidak menuntut anak untuk menunjukkan perubahan perilaku dengan segera. Karena setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda, maka perubahan perilaku pada setiap anak memiliki kemampuanyang berbeda, maka perubahan perilaku pada setiap anak memakan waktu yang berbeda pula. Dengan adanya perbedaan ini maka konselor tidak harus menuntu anak untuk segera memperbaiki perilakunya tetapi konselor perlu sabar dan terus menerus membantu memperbaiki permasalahan yang dihadapi anak.
4.    Tidak memaksa anak untuk memenuhi apa yang diinginkan konselor. Selayaknya konselor memperhatikan setiap aspek kebutuhan anak dan tidak menuntut anak untuk mengikuti apa yang diinginkan konselor. Konselor perlu berperan sebagai fasilitator pertumbuhan dan perkembangan anak.[7]

D.     Konseling Anak dalam Kelompok
Layanan konseling kelompok memungkinkan anak memperoleh kesempatan bagi pembahasan dan penempatan bagi pembahasan dan pengentasan masalah yang dialami melalui dinamika kelompok. Fugsi utama bimbingan yang didukung oleh layanan konseling kelompok ialah fungsi pengentasan. Pada dasarnya layanan konseling kelompok merupakan konseling yang diselenggarakan dalam kelompok, dengan memanfaatkan dinamika kelompok yang terjadi di dalam kelompok itu. Masalah-masalah yang dibahas merupakan masalah perorangan yang muncul di dalam kelompok itu, yang meliputi berbagai masalah dalam segenap bidang bimbingan (yaitu bidang bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karier).
Seperti konseling perorangan, setiap anggota kelompok dapat menampilkan masalah yang dirasakan. Masalah-masalah tersebut dilayani melalui pembahasan yang intensif oleh seluruh anggota kelompok, masalah demi masalah satu persatu, tanpa terkecuali, sehingga semua masalah terbicarakan. Selanjutnya layanan bimbingan kelompok dan konseling kelompok merupakan dua jenis layanan yang saling keterkaitannya sangat besar.
Keduanya menggunakan dinamika kelompok sebagai media kegiatannya. Apabila dinamika kelompok dikembangkan dan dimanfaatkan secara efektif di dalam ke dua jenis layanan itu, maka hasil yang dapat diharapkan dicapai melalui ke dua jenis layanan itu secara bersama-sama, kecuali hal-hal yang bersangkut paut  dengan “pemahaman” (berbagai fungsi pokok bimbingan kelompok) dan “pengentasan masalah” (sebagai fungsi pokok konseling kelompok) adalah suasana kejiwaan yang sehat, antara berkenaan dengan spontanitas, perasaan positif (seperti senang, gembira, rileks, nikmat, puas, bangga), katarsis serta peningkatan engetahuan dan keterampilan sosial.
Dalam kegiatan kelompok (baik layanan bimbingan kelompok maupun konseling kelompok) hal-hal yang perlu ditampilkan oleh seluruh anggota kelompok adalah:
1.    Membina keakrabatan dalam kelompok;
2.    Melibatkan diri secara penuh dalam suasana kelompok;
3.    Bersama-sama mencapai tujuan kelompok;
4.    Membina dan mematuhi aturan kegiatan kelompok;
5.    Ikut serta dalam seluruh kegiatan kelompok;
6.    Berkomunikasi secara bebas dan terbuka;
7.    Membantu anggota lain dalam kelompok;
8.    Memberikan kesempatan kepada anggota lain dalam kelompok; dan
9.    Menyadari pentingnya kegiatan kelompok.[8]



[1] Anak Agung Ngurah Adhiputra, BIMBNGAN DAN KONSELING Aplikasi di Sekolah dan Taman Kanak-Kanak, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hal.12
[2] Hamdani, Bimbingan dan Penyuluhan (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hal. 84
[3] Prayitno, Buku Pedoman Bimbingan Konseling (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, 2004), hal. 5
[4] Dapartemen Pendidikan Nasional, Bimbingan dan Konseling di Sekolah (Jakarta: Direktorat Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, 2008), hal. 7
[5] Op. Cit. Anak Agung Ngurah Adhiputra, hal. 13
[6] http://astavitano.blogspot.co.id/2013/10/bimbingan-konseling-anak-usia-dini.html diakses pada pukul 14:14 tanggal 22/09/2016
[7] Op. Cit. Anak Agung Ngurah Adhiputra hal. 102
[8] Ibid, hal. 40-41

Komunikasi Verbal dan Nonverbal dalam Konseling

Kali ini aku sharing tentang komunikasi verbal dan nonverbal dalam konseling, yuk dibaca.....

A.     Hakikat Komunikasi Verbal dan Nonverbal
Komunikasi verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita. Konsekuensinya, kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili kata-kata itu.[1]
Komunikasi nonverbal adalah penciptaan dan pertukaran pesan dengan tidak menggunakan kata-kata, seperti komunikasi yang menggunakan gerakan tubuh, sikap tubuh, vokal yang bukan kata-kata, kontak mata, ekspresi muka, kedekatan jarak dan sentuhan.[2]

B.     Ciri-Ciri Komunikasi Verbal dan Nonverbal
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan simbol-simbol verbal baik secara tertulis maupun secara lisan. Komunikasi verbal ditandai dengan:
1.    Disampaikan secara lisan/bicara atau tulisan;
2.    Proses komunikasi eksplisit dan cenderung dua arah; dan
3.    Kualitas proses komunikasi seringkali ditentukan oleh komunikasi nonverbal.[3]
Menurut Muhammad Budyatna dan Leila Mona Ganiem, ciri atau karakteristik komunikasi nonverbal dapat dibagi menjadi enam, yaitu:
1.    Memiliki sifat berkesinambungan;
2.    Komunikasi nonverbal kaya akan makna;
3.    Komunikasi nonverbal dapat membingungkan;
4.    Komunikasi nonverbal menyampaikan emosi;
5.    Komunikasi nonverbal dikendalikan oleh norma-norma dan peraturan mengenai kepatutan; dan
6.    Terikat pada budaya.[4]

C.     Klasifikasi Pesan Komunikasi Verbal dan Nonverbal
Klasifikasi pesan verbal dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
1.    Bahasa
Pada dasarnya bahasa adalah suatu system lambang yang memungkinkan orang berbagi makna. Dalam komunikasi verbal, lambang bahasa yang dipergunakan adalah bahasa verbal entah lisan, tertulis pada kertas, ataupun elektronik. Bahasa suatu bangsa atau suku berasal dari interaksi dan hubungan antara warganya satu sama lain.[5]
Bahasa memiliki banyak fungsi, namun sekurang-kurangnya ada tiga fungsi yang erat hubungannya dalam menciptakan komunikasi yang efektif. Ketiga fungsi itu adalah:
a.    Untuk mempelajari tentang dunia sekeliling kita;
b.    Untuk membina hubungan yang baik di antara sesame manusia
c.    Untuk menciptakan ikatan-ikatan dalam kehidupan manusia.
Bagaimana mempelajari bahasa? Menurut para ahli, ada tiga teori yang membicarakan sehingga orang bias memiliki kemampuan berbahasa.
Teori pertama disebut Operant Conditioning yang dikembangkan oleh seorang ahli psikologi behavioristik yang bernama B. F. Skinner (1957). Teori ini menekankan unsure rangsangan (stimulus) dan tanggapan (response) atau lebih dikenal dengan istilah S-R. teori ini menyatakan bahwa jika satu organism dirangsang oleh stimuli dari luar, orang cenderung akan member reaksi. Anak-anak mengetahui bahasa karena ia diajar oleh orang tuanya atau meniru apa yang diucapkan oleh orang lain.
Teori kedua ialah teori kognitif yang dikembangkan oleh Noam Chomsky. Menurutnya kemampuan berbahasa yang ada pada manusia adalah pembawaan biologis yang dibawa dari lahir.
Teori ketiga disebut Mediating theory atau teori penengah. Dikembangkan oleh Charles Osgood. Teori ini menekankan bahwa manusia dalam mengembangkan kemampuannya berbahasa, tidak saja bereaksi terhadap rangsangan (stimuli) yang diterima dari luar, tetapi juga dipengaruhi oleh proses internal yang terjadi dalam dirinya.[6]
2.    Kata
Kata merupakan unit lambang terkecil dalam bahasa. Kata adalah lambang yang melambangkan atau mewakili sesuatu hal, entah orang, barang, kejadian, atau keadaan. Jadi, kata itu bukan orang, barang, kejadian, atau keadaan sendiri. Makna kata tidak ada pada pikiran orang. Tidak ada hubungan langsung antara kata dan hal. Yang berhubungan langsung hanyalah kata dan pikiran orang.[7]

Komunikasi Nonverbal adalah komunikasi yang menggunakan pesan-pesan nonverbal. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Komunikasi nonverbal merupakan bagian sangat penting untuk menyampaikan pikiran dan perasaan kepada orang lain. Setiap anggota tubuh, mulai dari kaki sampai kepala dapat digunakan sebagai ekspresi pikiran dan perasaan secara simbolik.[8]
Jurgen Ruesch mengklasifikasikan isyarat nonverbal menjadi tiga bagian, yaitu:
1.    Bahasa tanda (sign language)—acungan jempol untuk menumpang mobil secara gratis; bahasa isyarat tuna rungu.
2.    Bahasa tindakan (action language)—semua gerakan tubuh yang tidak digunakan secara eksklusif untuk memberikan sinyal, misalnya: berjalan.
3.    Bahasa objek (object language)—pertunjukan benda, pakaian, dan lambang nonverbal bersifat public lainnya seperti ukuran ruangan, bendera, gambar (lukisan), music (misalnya marching band), dan sebagainya, baik sengaja ataupun tidak.
Secara garis besar Larry A. Samovar dan Richard E. Porter membagi pesan-pesan nonverbal menjadi dua katagori besar, yakni:
1.    Perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan, dan parabahasa.
2.    Ruang, waktu, dan diam.[9]

D.     Fungsi Perilaku Verbal dan Nonverbal
Menurut Larry L. Barker, bahasa mempunyai tiga fungsi: penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi.
1.    Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasikan objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi.
2.    Fungsi interaksi menekankan berbagi gagasan dan emosi, yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan.
3.    Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain, inilah yang disebut fungsi transmisi dari bahasa. Keistimewaan bahasa sebagai fungsi transmisi informasi yang lintas-waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan, memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi kita.
Mark L. Knapp menyebut lima fungsi pesan nonverbal yang dihubungkan dengan pesan verbal:
1.    Repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal. Misalnya setelah mengatakan penolakan, seseorang menggelengkan kepala.
2.    Substitusi, yaitu menggantikan lambang-lambang verbal. Misalnya tanpah sepatah katapun kita berkata, kita menunjukkan persetujuan dengan mengangguk-anggukkan kepala.
3.    Kontradiksi, menolak pesan verbal atau memberi makna yang lain terhadap pesan verbal. Misalnya memuji prestasi teman dengan mencibirkan bibir, seraya berkata “Hebat, kau memang hebat.”
4.    Komplemen, yaitu melengkapi dan memperkaya makna pesan nonverbal. Misalnya air muka menunjukkan tingkat penderitaan yang tidak terungkap dengan kata-kata.
5.    Aksentuasi, yaitu menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya. Misalnya seseorang mengungkapkan betapa jengkelnya dengan memukul meja.[10]

E.     Perilaku Verbal dan Nonverbal dalam Konseling
Konseling mengandung suatu proses antarpribadi yang berlangsung melalui saluran komunikasi verbal dan nonverbal.
1.         Verbal
Suatu teknik konseling yang verbal adalah sembarang tanggapan verbal yang diberikan oleh konselor, yang merupakan perwujudan konkret dari maksud, pikiran, dan perasaan yang terbentuk dalam batin konselor (tanggapan batin) untuk membantu konseli pada saat tertentu.
Teknik verbal dengan nomor a s/d i mengandung pengarahan sedikit dan lebih sesuai dengan metode nondirektif, sedangklan nomor j s/d u mengandung pengarahan banyak dan lebih sesuai dengan metode direktif, yaitu:
a.    Ajakan Untuk Memulai (invitation Talk)
b.    Penerimaan / Menunjukkan Pengertian (Acceptance, Understanding)
c.    Perumusan Kembali Pikiran–Gagasan / Refleksi Pikiran (Reflection of Content)
d.   Perumusan Kembali Perasaan / Refleksi Perasaan (Reflection of Feelings)
e.    Penjelasan Pikiran-Gagasan / Klarifikasi Pikiran (Clarification of Content)
f.     Penjelasan Perasaan / Klarifikasi Perasaan (Clarification of Feelings)
g.    Permintaan untuk Melanjutkan (General Lead)
h.    Pengulangan Satu-Dua Kata (Accent)
i.      Ringkasan / Rangkuman (Summary)
j.      Pertanyaan Mengenai Hal Tertentu (Questioning / Probing)
k.    Pemberian Umpan Balik (Feedback)
l.      Pemberian Informasi (Information Giving)
m.  Penyajian Alternatif (Forking Response)
n.    Penyelidikan (Investigation)
o.    Pemberian Struktur (Structuring)
p.    Interprestasi (Interpretation)
q.    Konfrontasi (Confrontation)
r.     Diagnosis (Diagnosis)
s.     Dukungan / Bombongan (Reassurance / Support)
t.     Usul / Saran (Suggestion, Advice)
u.    Penolakan (Criticism, Negative Evaluation)
Teknik-teknik konseling verbal yang disebutkan diatas, harus digunakan secara luwes dan lama-kelamaan diterapkan secara spontan, untuk itu dibutuhkan pengalaman di lapangan yang cukup lama. Maka tidak mengherankan kalau semua calon konselor masih mengalami kesulitan dalam penggunaan teknik-teknik itu, namun serangkaian latihan terarah dalam rangka praktikum konseling (microconseling) dan membiasakan mereka dengan penggunaan aneka teknik ini sebagai mana mestinya.

2.         Nonverbal
Menurut Mehrabian dalam buku Silent Messeges, istilah perilaku nonverbal (nonverbal behavior) dapat diartikan secara sempit dan secara luas. Dalam arti sempit perilaku nonverbal menunjuk pada reaksi atau tanggapan yang dibedakan dari berbahasa dengan memakai kata-kata, misalnya ekspresi wajah, sikap badan, anggukan kepala, dsb. Teknik-teknik nonverbal itu adalah, antara lain:
a.    Senyuman: untuk menyatakan sikap menerima.
b.    Cara duduk: untuk menyatakan sikap rileks dan sikap mau memperhatikan.
c.    Anggukan kepala: untuk menyatakan penerimaan dan menunjukkan pengetahuan.
d.   Gerak-gerik lengan dan tangan: untuk memperkuat apa yang diungkapkan secara verbal.
e.    Berdiam diri: untuk memberikan kesempatan kepada konseli berbicara secara leluasa, mengatur pikirannya atau menenangkan diri.
f.     Mimik (ekspresi wajah, roman muka, air muka, raut muka): untuk menunjang atau mendukung dan menyertai reaksi-reaksi verbal.
g.    Kontak mata (konselor mencari kontak mata dengan konseli): untuk menunjang atau mendukung tanggapan verbal dan/atau menyatakan sikap dasar.
h.    Variasi dalam nada suara dan kecepatan bicara: untuk menyesuaikan diri dengan ungkapan perasaan konseli.
i.      Sentuhan: untuk menunjang tanggapan verbal dan/atau menyatakan sikap dasar. Namun perlu diingat, bahwa kontak fisik antara konselor dan koseli secara potensial dapat membahayakan, lebih-lebih dalam lingkup kebudayaan yang cenderung menghindari kontak fisik selain berjabat tangan sebagai tanda salam.[11]



[1] Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), hal.259
[2]Deddy Mulyana,  Komunikasi  Organisasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 343
[5] Agus M. Hardjana, Komunikasi Intrapersonal &Komunikasi Interpersonal, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 23
[6] Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2007), hal. 99-102
[7]Op. Cit, Agus M. Hardjana, hal. 22
[8]Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 153-173
[9] Op. Cit. Deddy Mulyana, hal. 351-352
[10] Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi,(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hal.287
[11]W. S. Winkel, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan (Jakarta: PT Grasindo, 1997),  hal 351-369